Posted by : Look Me

Sebelum perang dunia ke II, ahli bedah di Indonesia berasal dari Belanda. Prihatin dengan kondisi tersebut, serta sadar akan pentingnya dunia kedokteran, maka seorang anak priyayi yang lahir di Sokaraja Purwokerto Kabupaten Banyumas pada hari Senin Wage 29 Maret 1897. Dia adalah Margono Soekarjo.

Beliau menekuni spesialis bedah. Guru ahli bedahnya pada waktu itu adalah Prof. Lesk, dan Margono menjadi murid pertamanya. Margono belajar menjadi ahli bedah selama tiga tahun di RS Glodok yang dulu disebut “Stadverband”.

"Pada tahun 1920, tempat pendidikannya pindah ke “Central Burgelijke Ziekenhuis (CBZ) yang kemudian hari menjadi Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Cipto Mangunkusumo. Setelah Prof. Lesk kembali belanda, kemudian ia berguru kepada Dr. Wieberdink, dan Prof. Reddianguis. Margono kemudian ditugaskan ke Surabaya bersama dr. Saleh Mangundiningrat. Ia menempati posisi sebagai kepala bagian bedah. Inilah untuk pertama kalinya putra pribumi menjadi kepala bagian. Karena pendidikan bedah di Indonesia kurang memadai, dr. Margono kemudian belajar ke Belanda untuk meraih gelar Arts."

Pada saat pendudukan Jepang di Indonesia, Margono dan gubernur Jawa Tengah Mr. Wongsonegoro ditawan oleh Jepang di Bulu dan Jatingaleh. Salah seorang temannya, dr. Kariadi, bahkan dibunuh. Semua ahli bedah bangsa Belanda, pulang ke negerinya. Tahun 1945, jumlah dokter ahli bedah di Indonesia kurang lebih berjumlah sepuluh orang. Untuk mengatasi kekurangan tersebut dibuka pendidikan ahli bedah di tiga kota yaitu, Jakarta, dipimpin oleh dr. Sutan Assin, Surabaya dipimpin dr. Sutoyo, dan di Semarang dipimpin oleh dr. Margono Sukaryo.

Menjadi Guru Besar
Sebagai penghormatan atas jasa-jasa ahli bedah Indonesia, pada tahun 1947 mereka diangkat menjadi Guru Besar. Margono Sukaryo sendiri di angkat menjadi guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta. Pada tahun 1954, Margono menghimpun para ahli bedah Indonesia. Rapat yang diadakan di FK UI memutuskan berdirinya Perhimpunan Ahli Bedah Indonesia. Margono Sukaryo menjadi ketuanya, Prof. Salim sebagai wakil ketua, dan dr. Aziz Saleh menjadi sekretarisnya.

"Tahun 1955, ketika kongres IDI di Semarang, berkumpul 9 ahli bedah di rumah dr. Heyder bin Heyder. Mereka adalah Prof. Margono Sukaryo, Prof. Sutan Assin, Prof. Salim, Prof. Utama, Dr. A.Murad, dr. H. Ramli, dr. Manap, dan dr. Moch Kelan. Mereka berikrar untuk mengaktifkan perkumpulan yang dibentuk tahun sebelumnya. Namun ikrar itu baru bisa dijalankan setelah Prof. Heyder diangkat menjadi Guru Besar di FK Undip Semarang tahun 1967. Saat itu disahkan pendirian Ikatan Ahli Bedah Indonesia atau disingkat IKABI. Prof. Margono Sukaryo menjadi ketua umum dan Prof. Oetomo sebagai ketua eksekutif"

Seperti dikutip dalam buku Wong Banyumasan karangan M. Koderi, Prof. Margono Sukaryo meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 8 Oktober 1970, dalam usia 73 tahun. Ia meninggalkan seorang istri keturunan Austria, dokter ahli kulit bernama Ny. Brand. Kemudian pada tahun 1982, Ny. Brand Margono meninggal dunia dan jenazahnya dimakamkan di dekat pusara suaminya di desa Kebutuh, Sokaraja Banyumas.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Translate

Visitors

Look Me

Popular Posts

Copyright © LooK Me™ -Black Rock Shooter- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan